Sabtu, 26 Juni 2021

PERKEMBANGAN ISLAM MASA RASULULLAH SAW PERIODE MADINAH


Makna hijrah bukan sekedar upaya melepaskan diri dari berbagai cobaan dan cemoohan saja. Tetapi lebih dari itu, hijrah juga dimaksudkan sebagai batu loncatan untuk mendirikan sebuah tatanan masyarakat baru di negeri yang aman. Oleh karena itu setiap muslim yang mampu dituntut untuk memberikan kontribusi dalam rangka pendirian tatanan masyarakat baru dan mengerahkan segala daya dan upaya untuk menjaga dan menegakkannya

 

A. Kebudayaan dan Kondisi Masyarakat Madinah Sebelum Islam

Madinah pada mulanya bernama Yasrib, dinamakan Yasrib karena orang pertama yang tinggal di kota ini bernama Yasrib bin Qa’id bin Ubail bin Aus bin Amaliq bin Lawudz bin Iram, salah seorang anak keturunan Sam, putra Nabi Nuh a.s. kota ini sudah terbentuk kurang lebih 1600 tahun sebelum masehi.

Kota Yasrib berjarak sekitar 300 mil sebelah utara kota Makkah, merupakan kota yang makmur dan subur dengan pertaniannya. Sebagai pusat pertanian, kota ini menjadi menarik bagi penduduk kota lain untuk berpindah kesana. Kota Yasrib dikelilingi oleh gunung berbatu, disini terdapat banyak lembah, atau yang paling terkenal dengan nama Wadi.  Persawahan   dan   perkUebuJnIan PyaUng BsuLburIKmenjadi   sandaran   hidup   penduduk setempat. Penghasilan terbesarnya  adalah  anggur  dan  kurma,  tidak  mengherankan jika kurma terbaik di dunia terdapat di kota ini.

Luas kota Yasrib kala itu hanya sekitar 15 km dan sekarang sudah berkembang menjadi 293 km dengan batas-batas geografis sebagai berikut:

a)             Bagian selatan berbatasan dengan bukit Ayr

b)            Bagian utara berbatasan dengan bukit Uhud dan bukit Tsur

c)             Bagian timur berbatasan dengan Harrah Waqim

d)            Bagian barat berbatasan dengan Harrah Wabarah

Komposisi penduduk Yasrib sebelum Islam masuk, berbeda dengan kota Makkah. Meskipun bersuku-suku, dilihat dari karakteristik budaya-agama, penduduk Makkah memiliki sifat yang homogen sebagai penyembah berhala. Sedangkan wilayah Yasrib memiliki penduduk selain terdiri atas beberapa suku, juga ada suku Yahudi disana dominan memeluk agama samawi dan ada juga pemeluk Nasrani.

Dilihat dari struktur sosial dan budaya, penduduk Yasrib cenderung lebih  heterogen dibanding Makkah. Mereka terdiri atas berbagai macam etnis dan kepercayaan


serta memiliki adat istiadat sendiri dari masing-masing suku. Masyarakat Yasrib sebelum Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga:

1.           Suku Aus dan Khazraj

Kedua suku ini awal mulanya adalah nama dari dua orang saudara kandung anak dari Harits bin Tsa’labah dari istrinya yang bernama Qilah binti al-Arqam bin Amr bin Jafnah. Pada perkembangan selanjutnya Aus dan Khazraj menjadi dua nama kabilah besar di Yasrib. Selama kurang lebih 120 tahun dua kabilah ini saling bertikai, pertikaian ini tidak lain disebabkan karna provokasi kaum Yahudi yang iri dengan kemajuan suku Aus dan Khazraj. Akibat provokasi kaum Yahudi, suku Aus dan Khazraj terlibat perang saudara yang hebat dan berkepanjangan, salah satu  peperangan terkenal diantara keduanya disebut dengan perang Bu’ats.

Ketika itu suku Aus yang memiliki kekuatan besar karena beraliansi dengan Yahudi berhasil mengalahkan Khazraj. Pada musim Haji, suku Khazraj mencoba mencari dukungan suku Quraisy di Makkah. Pada kesempatan itu Rasulullah Saw mencoba menarik simpati suku Khazraj dengan mengajaknya memeluk Islam, tapi ajakan itu ditolak oleh mereka. Selanjutnya justru suku Aus menaruh simpati terhadap ajakan Rasulullah Saw dan melakukan konsolidasi dalam Baiat Aqabah pertama dan Baiat Aqabah kedua.

Akhirnya suku Aus menyadari betul bahwa kemenangnya atas suku Khazraj bukan hal yang menguntungkan, bahkan menjadi titik awal kehancurannya di tengah suku-suku Yahudi, sebab mereka membuka peluang bagi kaum Yahudi untuk menghancurkan dari belakang. Karena itu suku Aus terus berupaya melakukan rekonsiliasi dengan Khazraj. Mereka terus berupaya mewujudkan gerakan perdamaian.

Kenyataan ini telah menunjukkan bahwa suku-suku Arab di Yasrib terus berupaya memelihara kekuasaan dan eksistensinya atas orang-orang Yahudi. Pada sisi lain, perang Bu’ats telah membangkitkan mereka untuk mencari perdamaian. Keinginan untuk hidup damai inilah yang mendorong suku Aus dan Khazraj menerima kehadiran Islam. Islam dalam pandangan mereka merupakan lambang persaudaraan dan kedamaian.


2.         Kaum Yahudi

Ketika kaum Yahudi berada di bawah tekanan bangsa Asyur dan Romawi, mereka cenderung berpihak kepada orang-orang Hijaz, walaupun pada dasarnya mereka adalah orang-orang Ibrani. Setelah bergabung dengan orang-orang Hijaz, gaya hidup mereka berubah menjadi gaya hidup orang Arab, berbahasa Arab, serta mengenakan pakaian yang biasa dipakai orang Arab pada umumnya, hingga nama- nama dan nama kabilah mereka disebut dengan nama-nama Arab dan pada akhirnya mereka pun menikah dengan orang Arab.

Namun meskipun demikian, mereka tetap memelihara rasa fanatisme mereka sebagai orang Yahudi dan tidak membaur dengan bangsa Arab. Bahkan mereka terus membanggakan dirinya sebagai bani Israil dan meremehkan orang-orang Arab dengan menghina dan meremehkannya. Kaum Yahudi tidak terlalu berambisi menyebarkan agama mereka, mereka menganggap bahwa mereka adalah orang-orang berilmu, memiliki kelebihan dibanding bangsa Arab.

Secara ekonomi, kaum Yahudi menguasai bagian terbesar dari kegiatan perekonomian di Yasrib. Mereka sangat terampil dalam mencari sumber penghidupan dan mata pencaharian. Kaum Yahudi menguasai perputaran bisnis biji-bijian, kurma, khamr, serta jual beli kain. Mereka mengeruk sekian kali lipat keuntungan dari bangsa Arab.

Dalam perdagangan, kaum Yahudi menerapkan sistem riba. Mereka memberikan pinjaman kepada pemuka dan pemimpin bangsa Arab. Dari uang yang mereka pinjamkan, mereka mengambil lahan serta tanah sebagai jaminan. Setelah masa pelunasan habis dan hutang belum terbayar, tanah serta lahan menjadi hak milik mereka.

Kaum Yahudi Madinah terdiri dari tiga kabilah terkenal, yaitu:

a.  Bani Qainuqa, dulunya mereka adalah sekutu suku Khazraj, perkampungan mereka berada di dalam kota Madinah

b.  Bani Nadzir, sama seperti Bani Qainuqa mereka adalah sekutu dari suku Khazraj yang tinggal di pinggiran kota Madinah

c.  Bani Quraidzah, dulunya mereka adalah sekutu dari suku Aus dan bertempat tinggal di pinggiran kota Madinah

Tiga bani inilah yang telah menyulut api peperangan antara suku Aus dan Khazraj sejak lama dan berperan atas pecahnya perang Bua’ats karena masing-masing bergabung dengan sekutunya. Mereka juga menguasai sistem pertanian, perdagangan,


pertukangan, keuangan sehingga secara ekonomi dalam struktur sosial di Yasrib telah menduduki posisi yang sangat penting dan menentukan.

 

3.         Kaum Musyrik

Mereka adalah orang-orang musyrik yang menetap di beberapa kabilah Madinah. Mereka tidak memiliki kekuasaan atas penduduk Yasrib. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah kaum minoritas yang hidup di Yasrib. Mereka memiliki seorang tokoh bernama Abdullah bin Ubay, sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Yasrib, tepatnya setelah perang Bu’ats usai, suku Aus dan Khazraj telah sepakat untuk menobatkan Abdullah bin Ubay menjadi pemimpin kelompok mereka.

Abdullah bin Ubay merasa tidak ada pesaing di Yasrib, maka ketika kabar datangnya Rasulullah Saw ke Yasrib sampai kepadanya dia merasa akan dirampas haknya oleh Rasulullah Saw sehingga dia menyimpan benih-benih permusuhan dalam dirinya. Sebagaimana Allah Swt. menguji kaum muslimin di Makkah dengan prilaku orang-orang kafir Quraisy, demikian juga Allah Swt. Menguji mereka di Yasrib dengan prilaku orang-orang Yahudi.

Dengan demikian di Yasrib ini, masyarakat atau umat Islam (kelak) selalu berhadapan  dengan  berbagai komunitas sebagai pluralisme  kebudayaan,  baik  dalam

bermasyarakat maupun dalam beragama.

Yasrib yang kemudian diganti namanya menjadi ‘Madinatul Munawwarah’ setelah kedatangan Rasulullah Saw ini menjadi sangat terkenal. Kedatangan komunitas Muslim Makkah ke Madinah sangat dinantikan oleh saudara-saudaranya seiman di kota ini. Penduduk Madinah yang telah mengenal Rasulullah Saw dan menyatakan beriman sangat senang dengan kedatangan rombongan yang kemudian disebut dengan kaum Muhajirin. Kaum Muhajirin mengharapkan angin segar seperti yang tertuang adalam perjanjian Aqabah yang telah mereka sepakati.

Hijrah bagi kaum muslimin Makkah, selain memberikan harapan baru untuk pengembangan kehidupan mereka, diharapkan dapat menghasilkan kehidupan sosial yang lebih aman, tertib dan sejahtera. Hal itu secara umum sulit ditemukan di Makkah. Arti hijrah bagi kaum Muhajirin bukan pemutusan ikatan dengan tanah kelahiran dan alam lingkungannya semua. Namun yang lebih utama bagi mereka adalah kesempatan dan harapan baru untuk berubah menjadi anggota masyarakat baru yang dinamis yang memiliki hak-hak warga kenegaraan yang sama.



Begitupun sebaliknya, bagi mereka yang menerima kaum Muhajirin, yang kemudian disebut dengan Anshar (penolong), mereka merasakan adanya nuansa baru, baik secara psikologis maupun sosiologis. Kaum Anshar seolah mendapat energi baru dari sesama muslim dan etnis Arab, setelah sebelumnya selalu mendapat tekanan dari berbagai kondisi ekonomi, sosial dan keagamaan di Madinah.

 



 

  

Jumat, 25 Juni 2021

PERKEMBANGAN ILMU FIQIH MASA BANI ABBASIYAH

 


A.       Kaitan Antara Kekhalifahan dengan Pengambangan Fiqih

Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan dalam berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri. Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah ketiga, al-Mahdi (775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya terutama, karena dua khalifah yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki kesan dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti hebat dalam sejarah Islam dan diidentikkan dengan istilah “the golden age of Islam”.

Dinasti Abbasyiyah dipusatkan di Mesir selama 256 tahun ( 699-1432 H / 1299-1924 M ).  Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah mencapai puncak keemasannya pada masa khalifah Harrun Ar Rasyid ( 768-809 M ). Setelah Harun Ar Raasyid meninggal kemudian diganti oleh Al-Makmun yang pada masanya, penerjemahan buku buku asing digalakkan dan banyak mendirikan sekolah-sekolah diantaranya Baitul Hikmal di Baghdad dan Irak  yang bertugas mengkaji penemuan penemuan dalam berbagai disiplin ilmu serta menterjemahkan kitab-kitab berbahasa asing. Sedangkan lembaga pendidikan pada masa Daulah Abbasiyah dibagi menjadi 2 tingkatan yaitu :

1. Maktab/ Kuttab dan Masjid              

Yang beerisi lembaga bacaan, hitungan, tulisan, serta tempat para pemuda belajar dasar dasar ilmuan agama

2.Tingakatan Pendalaman

Yaitu bagi para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya.

Masa Abbasyiyah adalah masanya Islam berkembang dengan sangat pesat baik dalam hal perluasan wilayah juga dalam hal ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan masa Abbasyiyah berkembang dengan sangat pesat salah satu factor tersebut adalah adanya terjemahan buku dari barat khususnya yunani  kedalam bahasa arab, sehingga umat islam pada masa itu dihadapi dalam berbagai hal segi kehidupan  khususnya dalam hal hukum islam. Para pakar ilmu islam khususnya para yurispudensi tidak tinggal diam, disinilah mereka menggunakan tenaga mereka untuk menkontektualkannya.

            Di bawah pemerintahan Abbasiyah, dunia Ilmu Pengetahuan mengalami masa keemasan khususnya dalam 200 tahun pertama dari lima ratus tahun kekuasaan dinasti. Pada masa itu pulalah tersusun buku-buku kumpulan Hadits, khususnya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam bidang ilmu hukum Islam mazhab-mazhab bermunculan dan empat darinya masih tetap.

            Dalam suasana Daulat Abbasiyah sedang membutuhkan jurisprudensi Islam yang praktis untuk kepentingan negara dan pendidikan atau pengajaran fiqh yang mengalami perkembangan dan kemajuan, para fuqaha’ terpolarisasi menjadi dua model. Pertama, ahlu al-ra’yi, yang menekankan pendidikan dan pengajarannya kepada pemahaman dan kemampuan akal dalam berdiskusi dan berbantah. Kelompok ini mengambil bentuk dari pola pikir Imam Abu Hanifah (700-767 M). Kedua, ahlu al-hadith, yang menekankan pendidikan dan pengajarannya kepada sunnah Nabi dan tidak mau memakai rasio dalam menentukan hukum kecuali dalam keadaan terpaksa. Kelompok ini diprakarsai Imam Malik Ibn Anas (713-795 M).

Mazhab-mazhab masa khalifah Abbasyiyah tetap berkembang, pelestarian mazhab tidak lepas dari peran pemerintah atau dinasti yang ada. Mazhab Hanafi berkembang atas jasa Abu Yusuf yang diangkat menjadi hakim oleh dinasti Bani Abbas, mazhab Malik berkembang atas jasa Yahya bin Yahya yang diangkat menjadi hakim oleh penguasa di Andalusia-di Afrika, Mu’iz Badis. Ia mewajibkan seluruh penduduknya mengikuti mazhab Malik. Mazhab Syafi’i menjadi besar setelah Shalahuddin al-Ayubi berkuasa di Mesir, dan mazhab Hanbali berkembang setelah al-Mutawaakil (Dinasti Bani Abbas) tidak mengangkat hakim kecuali atas persetujuan Imam Ahmad bin Hanbal.[6]

Mazhab Malik berkembang atas dukungan al-Mansur di Khilafah Timur dan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadli oleh para penguasa Andalusia. Dinasti Abbasyiyah sangat berjasa dalam pengembangan mazhab Hanafi, Dinansti Fatimiyyah sangat berjasa atas berkembangnya mazhab Ismailliyah, Dinasti Umayyah di Andalusia sangat berjasa terhadap berkembangnya mazhab Maliki, Dinasti Ayyubiyah di Mesir berjasa dalam melestarikan mazhab Syafi’i, dan Dinasti Su’udiyyah di Saudi Arabiya berkembang dalam melestarikan mazhab Hambali.

Berkembangnya suatu mazhab dalam negeri Islam sangat tergantung kepada siapa yang menjadi Khalifah pada daerah yang dikuasainya. Seorang Khalifah tentulah memilih seorang ulama dari mazhab untuk menjalankan roda pemerintahannya. Sikap Khalifah dalam mengambil mazhab juga melihat kepada mazhab yang dianut oleh masyarakatnya sendiri. Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa hubungan antara madzhab fiqh dengan penguasa politik sangat erat. Artinya, bahwa kebutuhan penguasa terhadap suatu bentuk jurisprudensi negara yang berdasarkan syara’ cukup memacu perkembangan hukum fiqh. Sebaliknya, suatu aturan atau pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh para mujtahid tidak serta merta dilaksanakan oleh mujtahid lain sebelum ada tekanan atau pemberlakuan secara resmi oleh penguasa

Perhatian para khalifah terhadap Fuqaha’ juga disalurkan kepada anak-anak mereka yang diistana untuk sama-sama mengikuti pelajaran agama. Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibini dalam kitabnya As-Siyar mengatakan, Khalifah Ar-Rasyid menyuruh anak-anaknya untuk mendengarkan pelajarannya. Disini dapat kita lihat bahwa perhatian apara khalifah tempo dulu sangat dampak pengaruhnya terhadap ilmu khususnya tentang keagamaan pada zaman sekarang ini. [7]

Khalifah Harun Ar-Rayid sangatlah berjasa terhadap agama Islam disamping para Khalifah-khalifah yang tidak kalah menariknya, seperti Umar bin Abdul Aziz, Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-fatih dan lain-lain. Harun Ar-rayid meminta kepada Imam Malik seorang Ahli Fiqih dan juga Hadis pada masanya untuk membukukan (Tadwin) kitab hadis yaitu al-Muwatha’ yang selesai dibukukan pada masa Khalifah Al-Ma’mun.[8] Berkembangnya ilmu fiqih selain perhatian para khalifah juga dikarenakan semangat para ulama untuk mengembangkan mazhab itu sendiri sehingga sampailah para penganut mazhab sampai sekarang ini.

Era pemerintahan Harun, yang dilanjutkan oleh Ma'mun Ar-Rasyid, dikenal sebagai masa keemasan Islam(The Golden Age of Islam), di mana saat itu Baghdad menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia.

Di masa pemerintahannya beliau :

· Mewujudkan keamanan, kedamaian serta kesejahteraan rakyat.

· Membangun kota Baghdad yang terletak di antara sungai eufrat dan tigris dengan bangunan-bangunan megah.

· Membangun tempat-tempat peribadatan.

· Membangun sarana pendidikan, kesenian, kesehatan, dan perdagangan.

· Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian.

. Membangun majelis Al-Muzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.

 Khalifah dinasti Abbasyiyah sangat memberikan perhatian kepada fiqh. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa aspek dibawah ini:

1. Semua undang-undang bersumber dari Al-quran dan As-Sunnah, terutama yang terkait dengan urusan pemerintahan.

2. Memberikan perhatian terhadap As-Sunnah dan mengumpulkan hadis, ditulis dan dibukukan seperti Musnad Imam Ahmad, Shahih Al-Bukhari, dan yang lainnya.

3. Para khalifah sangat dekat dan memuliakan ulama, memberi mereka kafalah (bantuan) dan menyeru para pemimpin negeri untuk menjadikan mereka rujukan dalam menentukan hukum.

4. Permintaan para khalifah kepada Fuqaha’ meletakkan aturan perundang-undangan Islam dalam mengatur urusan negara. Harun Ar-Rasyid meminta Abu Yusuf untuk menggali hukum tentang peraturan keuangan negara dan sistem distribusinya.

Masa Abbasyiyah pembangunan menjadi pesat, isalam semakin tersebar, ekonomi isalam dan sosial semakin bertambah, sehingga muncul  perdebatan fikih dengan berdirinya empat mazhab, munculnya tradisi taklid , melemahnya semangat ijtihad, dan perbedaan hukum para hakim.

B.     Hubungan Keagamaan antara Fiqih, Tasawuf dan Thariqat

Pada  masa  Abbasiyah,  ilmu  tasawuf  merupakan  salah  satu  ilmu  yangberkembang dan matang, di mana esensi ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia dan bersunyi diri dari beribadah.[11] Ilmu Tasawuf berkembang pesat terutama pada masa Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang terkenal adalah al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali (w. 502 H), dan lain-lain[12]

            Beberapa tokoh Pada masa Abbasiyah di antaranya hadir Dzu al-Nun al-Mishri,ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahlihadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan denganduniawi, sebuah kritikan yang membuat paraAhlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang aat itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luasoleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir. Secara umum para sufi memandang bahwa Dzu al-Nun al-Misri adalah sumber ajaran-ajaran mereka, dan memasukannya ke dalam Wali Qutub utama.[13]

            Dalam kitab al-Mihan karangan As-Sulami disebutkan, bahwa Dzun-Nun adalah orang yang pertama kali membincangkan tentang tingkatan Ahwal (Kondisi Rohani). Abdullah bin Abdul Malik (Murid Kenamaan Imam Malik) tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Dzun-Nun. Abdul Malik menuduh Dzunun-Nun sebagai zindiq. Ketiak dihadapkan kepada Mutawakkil, maka Mutawakkil sangat senang dan membuatnya  menaruh rasa hormat yang sedemikian tinggi.[14]

Pasca al-Bishtami, al- Junaid pada 297 H/909 M hadir dengan  mencoba mengkompromikan  tasawuf  dengan  syariat, hal  ini  ia  lakukan  setelah  melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlual-hadits.[15] dimasanya, lagi pula al-Junaid jugamempunyai basic sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaumyang sesat. Dan rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandangkalangan ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277H) yang juga menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan tasawuf.

C.    Prinsip atau bentuk peradilan

Pada masa Abbasyiyah, hakim mengalami berbagai perkembangan. Mereka memrintah atas nama agama dan inilah menjadi pedoman bagi meraka. Secara umum empat mazhab tersebut yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu, masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pula disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-QurĂ¢an dan al-Sunnah.

Dimasa Dinasti Bani Abbasiyah lah lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan, maka tak heran masa ini lahirlah istilah-istilah fikih dan lahir pula mazhab-mazhab fikih. Keadaan ini berpengaruh pula pada keputusan-keputusan para Qadhi dalam memutuskan berbagai persoalan, sehingga seorang qadhi di irak memutuskan perkara dengan  berpedoman pada mazhab Hanafi, di syam dan magribi hakim memutuskan perkara berdasarkan pada mazhab Maliki dan dimesir hakim memutuskan perkara berpedoman pada mazhab Syafi’i.[16] maka pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid dibentuk suatu jabatan penting dalam pemerintahannya yang disebut dengan Qadhi Al-Qadha’ (hakim agung).

Ahli Fiqh mengartikan Al-Qadha’ adalah sebagai lembaga hukum dan juga bisa dikatakan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum, atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Sedangkan orang yang diangkat oleh negara untuk menjadi penentu dalam menyelesaikan suatu perkara berdasarkan hukum disebut Qadhi atau Hakim.

 

Ketika bergantinya kekhalifahan juga berpengaruh bergantinya hakim pada masa Abbasyiyah. Di antara perubahan-perubahan yang lahir pada masa ini adalah:

1. Lemahnya ijtihad hakim dalam menetapkan hukum lantaran telah berkembang mazhab. Hakim  pada  masa ini memerintah sesuai dengan mazhab yang dianut oleh penguasanya. Misalnya di Iraq hakim memutuskan perkara dengan mazhab Hanafi karena mazhab tersebut lahir di Iraq, Di Syam hakim memutuskan perkara sesuai dengan mazhab di daerah tersebut yaitu mazhab Maliki sedangkan di Mesir seorang hakim memutuskan sesuai dengan mazhab Syafi’i. Namun apabila orang yang berpekara tidak menganut menganut mazhabyang sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkan orang yang berpekara tersebut kepada hakim yang sesuai dengan mazhabnya.

2. Para hakim memutuskan perkara di bawah kekuasaan pemerintah. Pada masa Abbasyiyah seorang hakim memutuskan perkara hukum sesusuai dengan keingin penguasa. Oleh karena itu banyak ulama fuqaha’ yang menolak jabatan yang diajukan oleh para penguasa. Kekacauna dalam bidang hukum dan tidak adanya satu pedoman yang harus dipegang oleh para hakim sehingga mendorong Abdullah bin Muqaffa’ (seorang Muslim Iran yang pernah menjadi sekretaris negara, w. 756M ) menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan meminta izin  kepada Imam Malik bin Anas untuk menetapkan satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat Islam sebagai rujukan.

3. Dibentuknya lembaga Qadly al-Qudat (Mahkamah Agung) yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan.

Qadly al-Qudat adalah suatu lembaga pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung pada masa sekarang) pada masa Harun al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara.Pejabat Qadly al-Qudat yang pertama ialah al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim, penyusun kitab Al-Kharraj. Kejadian tersebut sangat memuliakan Abu Yusuf dan memperhatikan hakim-hakim serta gerak-gerik mereka.

4. Masa Abbayiyah II, keadaan pemerintahn menjadi kacau balau, peradilanpun tidak ketinggalan rusak. Di akhir-akhir masa daulat Bani abbasiyah,perkembangan peradilan pada masa ini mengalami kemerosotan. Pemicu hancurnya tatanan peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah antara lain sebagai berikut :

A.  Keadaan pemerintahan yang sudah rusak.

 B. Karena pengangkatan hakim sudah harus membayar sejumlah uang kepada Negara.

 C. Wilayah kekuasaan Abbasiyah semakin surut

  D.  Hak dan wewenang pengadilan juga semakin surut.

Dengan lemahnya pemerintahan, maka lemah pula kekuasaan hakim dan berangsur-angsur surut daerah hukum yang menjadi wewenang hakim. Terus-menerus keadaan ini berangsur-angsur surut, hingga merosot sampai pada hanya menyelesaikan soal-soal sengketa dan soal-soal ahwal al-shahshiyah (hukum keluarga) saja.

Pada masa peralihan dari dinasti Umawiyah ke dinasti Abbasiyah itu hidup seorang sarjana fiqh yang terkenal, Abu Hanifah (79-148 H [699-767 M]). Aliran pikiran (madzhab, school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan Irak dan suasana pemerintahan Abbasiyah. Tetapi dari masa dinasti Abbasiyah itu yang paling formatif bagi pertumbuhan ilmu fiqh, seperti juga bagi pertumbuhan ilmu-ilmu yang lain, ialah masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H [786-809 M]). Pada masa pemerintahannya itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah yang hebat, Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim (113-182 H [732-798 M]).

Pada Masa Harun Arrasyid, Beliau mengangkat seorang Qadhi yaitu Abu Yusuf yang dikenal sebagai Qadhi Qudhat( Hakim Agung) seorang ahli fiqih Mazhab Hanafi. Abu Yusuf mendapat penghormata dari Khalifah untuk mengangkat hakim yang bermazhab Hanafi saja, dan telah dibentuk satu jabatan peradilan yang penting yang angkat oleh Abu Yusuf yang disebut Qadhi Qudhat. Abu Yusuf adalah orang yang menguasai fiqh dan hadis dengan baik. Kitab yang paling terkenal adalah kitab al-Kharaj yang merupakan kumpulan berbagai pendapat hukum tentang pajak, jizyah, pengelompokan tanah menurut manfaatnya dan lain-lain. Abu Yusuf juga takut mengkritik Khalifah dalam bukunya.[18] Abu Yusuf kemudian digantikan oleh Abdullah Muhammad bin Harun As-Syaibani.[19] Tugas Qadhi tersebut adalah:

1. Mengawasi

2.  Mengangkat

3. Memecat Qadhi

4. Meninjau keputusan yang dikeluarkan

Perubahan lain yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah adalah para hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab yang empat atau mazhab lainnya. Dengan demikian syarat hakim harus mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian, organisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah diadakannya jabatan penuntut umum (kejaksaan) disamping telah dibentuk instansi Diwan Qadhi Al-Qudhah, sebagai berikut:

a. Diwan Qadhi Al-Qadhah fungsi dan tugasnya mirip dengan departemen kehakiman yang dipimpin oleh Qadhi Al-Qudhah (ketua mahkama agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-badan lainnya yang ada hubungan dengan kehakiman berada di bawah Diwan Qadhi Al-Qadhah.

b. Qudhah Al-Aqaali (hakim provinsi yang mengetuai pengadilan tinggi)

c. Qudhah Al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai pengadilan negeri; Al-Qadhau atau Al Hisbah)

d. Al-Sulthah Al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibu kota Negara dipimpin oleh Al-Mudda’il Ummy (jaksa agung) dan tiap-tiap kotaoleh Naib Ummy (jaksa)

Adapun sumber hukum dan independensi hakim yang dipakai lebih berfariasi. Disamping al-Qur’an dan Hadist, sumber hukum yang banyak digunakan oleh hakim kala itu adalah yurisprudensi atau preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum mereka. maka tidak dipungkiri lagi bahwa pada zaman Dinasti Muawiyah telaah memutus berbagai persoalan baik yang ada dalam ketentuannya dalam nash maupun yang belum. Dan keputusan-keputusan tersebut adalah bentuk warisan yang kaya dan bisa dijadikan sebagai rujukan bagi hakim-hakim masa dinasti abbasiyah. Disamping itu berkembangnya pemikiran hukum yang digagas oleh para imam mazhab, semangkin memperkara rujukan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara sidang-sidang pengadilan. Perlu digaris bawahi bahwa hakim kala itu disamping memiliki keahlian dalam memeriksa dan memutuskan perkara, mereka juga Fuqaha yang ahli dalam epistimologi hukum islam maupun ilmu-ilmu lainnya.

Maka pada masa ini telah ada ketua mahkamah dan pembagian wilayah peradilan tertentu yang mengatur dan menertibkan urusan mereka. Tetapi setelah beberapa daerah memisahkan dari kekuasaan di baghda yaitu Abbasyiyah, maka masing-masing daerah memiliki qadhi qudhat (hakim Agung) sendiri, yang di Andalusia (Spanyol) disebut sebagai Adli Jama’ah. Di Andalusia, pengawasan terhadap tindakan kriminal serta hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat agama juga diserahkan kepada polisi. Lapangannya sedikit lebih luas dibandingkan dengan lapangan jabatan hakim.

Pada masa ini juga telah didirikan gedung-gedung untuk meraka para qadhi, pakaian khusus (toga), memiliki pengawal khusus untuk usrusan mereka. Pada masa ini juga telah diadakan pembukuan putusan secara sempurna, pencatatan wasia-wasiat dan hutang-hutang. Dan kekuasaan peradilan semakin meluas , sehingga dimasukkan pula dalamnya keuasaan kepolisian, Wilayatul Madhalim, pengawasan mata uang dan baitul mal dan Wilayatul Hisbah. Dalam Lembaga Hisbah, pejabat yang memegang lembaga ini disebut Muhtasib, bukan merupakan lembaga atau badan peradilan dalam pengertian rinci seperti halnya badan peradilan biasa atau nazar al-mazalim. Tetapi lembaga ini merupakan lembaga keagamaan murni yang didasarkan pada seruan untuk melaksanakan kebajikan dan meninggalkan perbuatan yang munkar. Oleh lembaga hisbah diterjemhakan menjadi “kewajiban-kewajiban praktis yang sesuai dengan kepentingan umum kaum muslimin.”

            Selain itu wilayah al-hisbah (kewenangan) dan wilayah al-mazalim (penyelewengan dan penganiayaan) yang dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadi al-Mazalim atau Sahib al-Mazalim. Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan karena pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga ini kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain itu, tugas Nazar al-Mazalim adalah,

a. mengawasi penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara, pegawai perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan wewenangnya.

b. mengawasi terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan, keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.

c. membantu qadhi melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.

d. mengawasi atau menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan barang hasil curian pada orang yang berhak.

D. Hancurnya Tatanan Peradilan Pada Masa Abbasiyah

Kemerosotan nilai peradilan dan kekuasaan hakim merupakan pemicu hancurnya tatanan peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah yang telah tertata dalam waktu yang tidak singkat seirirng dengan keadaan pemerintahan sudah sangat rusak. Kerusakan telah merata dan urusan peradilan pun tidak luput dari kerusakan. Orang-orang yang diangkat menjadi hakim, diharuskan membayar sejumlah uang kepada pemerintah pada tiap-tiap tahun.

Dengan lemahnya pemerintahan, maka lemah pula kekuasaan hakim dan berangsur-angsur surut daerah hukum yang menjadi wewenang hakim. Terus-menerus keadaan ini berangsur-angsur surut, hingga merosot sampai pada hanya menyelesaikan soal-soal sengketa dan soal-soal ahwal al-shahshiyah (hukum keluarga) saja.

PERKEMBANGAN ISLAM MASA RASULULLAH SAW PERIODE MADINAH

Makna hijrah bukan sekedar upaya melepaskan diri dari berbagai cobaan dan cemoohan saja. Tetapi lebih dari itu, hijrah juga dimaksudkan ...