A.
Kaitan Antara Kekhalifahan dengan
Pengambangan Fiqih
Pada masa
Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan dalam berbagai bidang.
Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual, seperti halnya dinasti lain
dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri. Kekhalifahan
Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah ketiga, al-Mahdi (775-785 M),
dan kesembilan, al-Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi pada masa Harun
al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya terutama, karena dua
khalifah yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki kesan dalam ingatan
publik, dan menjadi dinasti hebat dalam sejarah Islam dan diidentikkan dengan
istilah “the golden age of Islam”.
Dinasti
Abbasyiyah dipusatkan di Mesir selama 256 tahun ( 699-1432 H / 1299-1924 M
). Ilmu pengetahuan pada masa Daulah
Abbasiyah mencapai puncak keemasannya pada masa khalifah Harrun Ar Rasyid ( 768-809
M ). Setelah Harun Ar Raasyid meninggal kemudian diganti oleh Al-Makmun yang
pada masanya, penerjemahan buku buku asing digalakkan dan banyak mendirikan
sekolah-sekolah diantaranya Baitul Hikmal di Baghdad dan Irak yang bertugas mengkaji penemuan penemuan
dalam berbagai disiplin ilmu serta menterjemahkan kitab-kitab berbahasa asing.
Sedangkan lembaga pendidikan pada masa Daulah Abbasiyah dibagi menjadi 2
tingkatan yaitu :
1. Maktab/
Kuttab dan Masjid
Yang beerisi
lembaga bacaan, hitungan, tulisan, serta tempat para pemuda belajar dasar dasar
ilmuan agama
2.Tingakatan
Pendalaman
Yaitu bagi para
pelajar yang ingin memperdalam ilmunya.
Masa Abbasyiyah
adalah masanya Islam berkembang dengan sangat pesat baik dalam hal perluasan
wilayah juga dalam hal ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan masa Abbasyiyah
berkembang dengan sangat pesat salah satu factor tersebut adalah adanya
terjemahan buku dari barat khususnya yunani
kedalam bahasa arab, sehingga umat islam pada masa itu dihadapi dalam
berbagai hal segi kehidupan khususnya
dalam hal hukum islam. Para pakar ilmu islam khususnya para yurispudensi tidak
tinggal diam, disinilah mereka menggunakan tenaga mereka untuk
menkontektualkannya.
Di bawah pemerintahan Abbasiyah,
dunia Ilmu Pengetahuan mengalami masa keemasan khususnya dalam 200 tahun
pertama dari lima ratus tahun kekuasaan dinasti. Pada masa itu pulalah tersusun
buku-buku kumpulan Hadits, khususnya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam
bidang ilmu hukum Islam mazhab-mazhab bermunculan dan empat darinya masih
tetap.
Dalam suasana Daulat Abbasiyah
sedang membutuhkan jurisprudensi Islam yang praktis untuk kepentingan negara
dan pendidikan atau pengajaran fiqh yang mengalami perkembangan dan kemajuan,
para fuqaha’ terpolarisasi menjadi dua model. Pertama, ahlu al-ra’yi, yang
menekankan pendidikan dan pengajarannya kepada pemahaman dan kemampuan akal
dalam berdiskusi dan berbantah. Kelompok ini mengambil bentuk dari pola pikir Imam
Abu Hanifah (700-767 M). Kedua, ahlu al-hadith, yang menekankan pendidikan dan
pengajarannya kepada sunnah Nabi dan tidak mau memakai rasio dalam menentukan
hukum kecuali dalam keadaan terpaksa. Kelompok ini diprakarsai Imam Malik Ibn
Anas (713-795 M).
Mazhab-mazhab
masa khalifah Abbasyiyah tetap berkembang, pelestarian mazhab tidak lepas dari
peran pemerintah atau dinasti yang ada. Mazhab Hanafi berkembang atas jasa Abu
Yusuf yang diangkat menjadi hakim oleh dinasti Bani Abbas, mazhab Malik
berkembang atas jasa Yahya bin Yahya yang diangkat menjadi hakim oleh penguasa
di Andalusia-di Afrika, Mu’iz Badis. Ia mewajibkan seluruh penduduknya
mengikuti mazhab Malik. Mazhab Syafi’i menjadi besar setelah Shalahuddin
al-Ayubi berkuasa di Mesir, dan mazhab Hanbali berkembang setelah al-Mutawaakil
(Dinasti Bani Abbas) tidak mengangkat hakim kecuali atas persetujuan Imam Ahmad
bin Hanbal.[6]
Mazhab Malik
berkembang atas dukungan al-Mansur di Khilafah Timur dan Yahya bin Yahya ketika
diangkat menjadi qadli oleh para penguasa Andalusia. Dinasti Abbasyiyah sangat
berjasa dalam pengembangan mazhab Hanafi, Dinansti Fatimiyyah sangat berjasa
atas berkembangnya mazhab Ismailliyah, Dinasti Umayyah di Andalusia sangat
berjasa terhadap berkembangnya mazhab Maliki, Dinasti Ayyubiyah di Mesir
berjasa dalam melestarikan mazhab Syafi’i, dan Dinasti Su’udiyyah di Saudi
Arabiya berkembang dalam melestarikan mazhab Hambali.
Berkembangnya
suatu mazhab dalam negeri Islam sangat tergantung kepada siapa yang menjadi
Khalifah pada daerah yang dikuasainya. Seorang Khalifah tentulah memilih
seorang ulama dari mazhab untuk menjalankan roda pemerintahannya. Sikap
Khalifah dalam mengambil mazhab juga melihat kepada mazhab yang dianut oleh
masyarakatnya sendiri. Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara madzhab fiqh dengan penguasa politik sangat erat.
Artinya, bahwa kebutuhan penguasa terhadap suatu bentuk jurisprudensi negara
yang berdasarkan syara’ cukup memacu perkembangan hukum fiqh. Sebaliknya, suatu
aturan atau pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh para mujtahid tidak serta
merta dilaksanakan oleh mujtahid lain sebelum ada tekanan atau pemberlakuan
secara resmi oleh penguasa
Perhatian para
khalifah terhadap Fuqaha’ juga disalurkan kepada anak-anak mereka yang diistana
untuk sama-sama mengikuti pelajaran agama. Imam Muhammad bin Al-Hasan
Asy-Syaibini dalam kitabnya As-Siyar mengatakan, Khalifah Ar-Rasyid menyuruh
anak-anaknya untuk mendengarkan pelajarannya. Disini dapat kita lihat bahwa
perhatian apara khalifah tempo dulu sangat dampak pengaruhnya terhadap ilmu
khususnya tentang keagamaan pada zaman sekarang ini. [7]
Khalifah Harun
Ar-Rayid sangatlah berjasa terhadap agama Islam disamping para
Khalifah-khalifah yang tidak kalah menariknya, seperti Umar bin Abdul Aziz,
Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-fatih dan lain-lain. Harun Ar-rayid meminta
kepada Imam Malik seorang Ahli Fiqih dan juga Hadis pada masanya untuk
membukukan (Tadwin) kitab hadis yaitu al-Muwatha’ yang selesai dibukukan pada
masa Khalifah Al-Ma’mun.[8] Berkembangnya ilmu fiqih selain perhatian para
khalifah juga dikarenakan semangat para ulama untuk mengembangkan mazhab itu
sendiri sehingga sampailah para penganut mazhab sampai sekarang ini.
Era
pemerintahan Harun, yang dilanjutkan oleh Ma'mun Ar-Rasyid, dikenal sebagai
masa keemasan Islam(The Golden Age of Islam), di mana saat itu Baghdad menjadi
salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia.
Di masa
pemerintahannya beliau :
· Mewujudkan
keamanan, kedamaian serta kesejahteraan rakyat.
· Membangun
kota Baghdad yang terletak di antara sungai eufrat dan tigris dengan
bangunan-bangunan megah.
· Membangun
tempat-tempat peribadatan.
· Membangun
sarana pendidikan, kesenian, kesehatan, dan perdagangan.
· Mendirikan
Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan
tinggi, perpustakaan, dan penelitian.
. Membangun
majelis Al-Muzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan yang
diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.
Khalifah dinasti Abbasyiyah sangat memberikan
perhatian kepada fiqh. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa aspek dibawah ini:
1. Semua
undang-undang bersumber dari Al-quran dan As-Sunnah, terutama yang terkait
dengan urusan pemerintahan.
2. Memberikan
perhatian terhadap As-Sunnah dan mengumpulkan hadis, ditulis dan dibukukan
seperti Musnad Imam Ahmad, Shahih Al-Bukhari, dan yang lainnya.
3. Para
khalifah sangat dekat dan memuliakan ulama, memberi mereka kafalah (bantuan)
dan menyeru para pemimpin negeri untuk menjadikan mereka rujukan dalam
menentukan hukum.
4. Permintaan
para khalifah kepada Fuqaha’ meletakkan aturan perundang-undangan Islam dalam
mengatur urusan negara. Harun Ar-Rasyid meminta Abu Yusuf untuk menggali hukum
tentang peraturan keuangan negara dan sistem distribusinya.
Masa Abbasyiyah
pembangunan menjadi pesat, isalam semakin tersebar, ekonomi isalam dan sosial
semakin bertambah, sehingga muncul
perdebatan fikih dengan berdirinya empat mazhab, munculnya tradisi
taklid , melemahnya semangat ijtihad, dan perbedaan hukum para hakim.
B. Hubungan Keagamaan antara Fiqih, Tasawuf
dan Thariqat
Pada masa
Abbasiyah, ilmu tasawuf
merupakan salah satu
ilmu yangberkembang dan matang,
di mana esensi ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah dan meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia dan
bersunyi diri dari beribadah.[11] Ilmu Tasawuf berkembang pesat terutama pada
masa Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang terkenal adalah
al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali (w. 502 H), dan
lain-lain[12]
Beberapa tokoh Pada masa Abbasiyah
di antaranya hadir Dzu al-Nun al-Mishri,ia dilahirkan di Mesir pada tahun
190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahlihadis-Ulama fiqh, Hadis,
dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan denganduniawi, sebuah
kritikan yang membuat paraAhlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai menyebut
al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist
membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang aat itu dipimpin oleh
khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam
lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal
sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah
dikenal sebagai sufi yang dikenal luasoleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya
menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia meninggal
pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir. Secara umum para sufi memandang
bahwa Dzu al-Nun al-Misri adalah sumber ajaran-ajaran mereka, dan memasukannya
ke dalam Wali Qutub utama.[13]
Dalam kitab al-Mihan karangan
As-Sulami disebutkan, bahwa Dzun-Nun adalah orang yang pertama kali
membincangkan tentang tingkatan Ahwal (Kondisi Rohani). Abdullah bin Abdul
Malik (Murid Kenamaan Imam Malik) tidak menyukai apa yang dilakukan oleh
Dzun-Nun. Abdul Malik menuduh Dzunun-Nun sebagai zindiq. Ketiak dihadapkan
kepada Mutawakkil, maka Mutawakkil sangat senang dan membuatnya menaruh rasa hormat yang sedemikian tinggi.[14]
Pasca
al-Bishtami, al- Junaid pada 297 H/909 M hadir dengan mencoba mengkompromikan tasawuf
dengan syariat, hal ini
ia lakukan setelah
melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlual-hadits.[15]
dimasanya, lagi pula al-Junaid jugamempunyai basic sebagai seorang ahli hadis
dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan ortodoksi
Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaumyang sesat. Dan rupanya
al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandangkalangan ortodoksi
terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277H) yang juga
menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan tasawuf.
C. Prinsip atau bentuk peradilan
Pada masa
Abbasyiyah, hakim mengalami berbagai perkembangan. Mereka memrintah atas nama
agama dan inilah menjadi pedoman bagi meraka. Secara umum empat mazhab tersebut
yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan
sekarang ini. Dan oleh karena itu, masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah
sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pula disusun ilmu Ushul Fiqh
untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-QurĂ¢an dan
al-Sunnah.
Dimasa Dinasti
Bani Abbasiyah lah lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan, maka tak heran masa
ini lahirlah istilah-istilah fikih dan lahir pula mazhab-mazhab fikih. Keadaan
ini berpengaruh pula pada keputusan-keputusan para Qadhi dalam memutuskan
berbagai persoalan, sehingga seorang qadhi di irak memutuskan perkara dengan berpedoman pada mazhab Hanafi, di syam dan
magribi hakim memutuskan perkara berdasarkan pada mazhab Maliki dan dimesir
hakim memutuskan perkara berpedoman pada mazhab Syafi’i.[16] maka pada masa
pemerintahan Harun Al-Rasyid dibentuk suatu jabatan penting dalam pemerintahannya
yang disebut dengan Qadhi Al-Qadha’ (hakim agung).
Ahli Fiqh
mengartikan Al-Qadha’ adalah sebagai lembaga hukum dan juga bisa dikatakan
perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai
wilayah umum, atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang
mengikutinya. Sedangkan orang yang diangkat oleh negara untuk menjadi penentu
dalam menyelesaikan suatu perkara berdasarkan hukum disebut Qadhi atau Hakim.
Ketika
bergantinya kekhalifahan juga berpengaruh bergantinya hakim pada masa
Abbasyiyah. Di antara perubahan-perubahan yang lahir pada masa ini adalah:
1. Lemahnya
ijtihad hakim dalam menetapkan hukum lantaran telah berkembang mazhab.
Hakim pada masa ini memerintah sesuai dengan mazhab yang
dianut oleh penguasanya. Misalnya di Iraq hakim memutuskan perkara dengan
mazhab Hanafi karena mazhab tersebut lahir di Iraq, Di Syam hakim memutuskan
perkara sesuai dengan mazhab di daerah tersebut yaitu mazhab Maliki sedangkan
di Mesir seorang hakim memutuskan sesuai dengan mazhab Syafi’i. Namun apabila
orang yang berpekara tidak menganut menganut mazhabyang sesuai dengan mazhab
hakim, maka hakim tersebut menyerahkan orang yang berpekara tersebut kepada
hakim yang sesuai dengan mazhabnya.
2. Para hakim
memutuskan perkara di bawah kekuasaan pemerintah. Pada masa Abbasyiyah seorang
hakim memutuskan perkara hukum sesusuai dengan keingin penguasa. Oleh karena
itu banyak ulama fuqaha’ yang menolak jabatan yang diajukan oleh para penguasa.
Kekacauna dalam bidang hukum dan tidak adanya satu pedoman yang harus dipegang
oleh para hakim sehingga mendorong Abdullah bin Muqaffa’ (seorang Muslim Iran
yang pernah menjadi sekretaris negara, w. 756M ) menulis risalah yang
disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan
umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan
ini dan meminta izin kepada Imam Malik
bin Anas untuk menetapkan satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat
Islam sebagai rujukan.
3. Dibentuknya
lembaga Qadly al-Qudat (Mahkamah Agung) yang merupakan instansi tertinggi dalam
peradilan.
Qadly al-Qudat
adalah suatu lembaga pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung pada masa sekarang)
pada masa Harun al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara.Pejabat Qadly
al-Qudat yang pertama ialah al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim, penyusun
kitab Al-Kharraj. Kejadian tersebut sangat memuliakan Abu Yusuf dan
memperhatikan hakim-hakim serta gerak-gerik mereka.
4. Masa
Abbayiyah II, keadaan pemerintahn menjadi kacau balau, peradilanpun tidak
ketinggalan rusak. Di akhir-akhir masa daulat Bani abbasiyah,perkembangan
peradilan pada masa ini mengalami kemerosotan. Pemicu hancurnya tatanan
peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah antara lain sebagai berikut :
A. Keadaan pemerintahan yang sudah rusak.
B. Karena pengangkatan hakim sudah harus
membayar sejumlah uang kepada Negara.
C. Wilayah kekuasaan Abbasiyah semakin surut
D. Hak
dan wewenang pengadilan juga semakin surut.
Dengan lemahnya
pemerintahan, maka lemah pula kekuasaan hakim dan berangsur-angsur surut daerah
hukum yang menjadi wewenang hakim. Terus-menerus keadaan ini berangsur-angsur
surut, hingga merosot sampai pada hanya menyelesaikan soal-soal sengketa dan
soal-soal ahwal al-shahshiyah (hukum keluarga) saja.
Pada masa
peralihan dari dinasti Umawiyah ke dinasti Abbasiyah itu hidup seorang sarjana
fiqh yang terkenal, Abu Hanifah (79-148 H [699-767 M]). Aliran pikiran
(madzhab, school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan Irak dan
suasana pemerintahan Abbasiyah. Tetapi dari masa dinasti Abbasiyah itu yang
paling formatif bagi pertumbuhan ilmu fiqh, seperti juga bagi pertumbuhan
ilmu-ilmu yang lain, ialah masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H
[786-809 M]). Pada masa pemerintahannya itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah
yang hebat, Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim (113-182 H [732-798 M]).
Pada Masa Harun
Arrasyid, Beliau mengangkat seorang Qadhi yaitu Abu Yusuf yang dikenal sebagai
Qadhi Qudhat( Hakim Agung) seorang ahli fiqih Mazhab Hanafi. Abu Yusuf mendapat
penghormata dari Khalifah untuk mengangkat hakim yang bermazhab Hanafi saja,
dan telah dibentuk satu jabatan peradilan yang penting yang angkat oleh Abu
Yusuf yang disebut Qadhi Qudhat. Abu Yusuf adalah orang yang menguasai fiqh dan
hadis dengan baik. Kitab yang paling terkenal adalah kitab al-Kharaj yang
merupakan kumpulan berbagai pendapat hukum tentang pajak, jizyah, pengelompokan
tanah menurut manfaatnya dan lain-lain. Abu Yusuf juga takut mengkritik
Khalifah dalam bukunya.[18] Abu Yusuf kemudian digantikan oleh Abdullah
Muhammad bin Harun As-Syaibani.[19] Tugas Qadhi tersebut adalah:
1. Mengawasi
2. Mengangkat
3. Memecat
Qadhi
4. Meninjau
keputusan yang dikeluarkan
Perubahan lain
yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah adalah para hakim tidak lagi berijtihad
dalam memutuskan perkara tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab yang
empat atau mazhab lainnya. Dengan demikian syarat hakim harus mujtahid sudah
ditiadakan. Kemudian, organisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara
lain telah diadakannya jabatan penuntut umum (kejaksaan) disamping telah
dibentuk instansi Diwan Qadhi Al-Qudhah, sebagai berikut:
a. Diwan Qadhi
Al-Qadhah fungsi dan tugasnya mirip dengan departemen kehakiman yang dipimpin
oleh Qadhi Al-Qudhah (ketua mahkama agung). Semua badan-badan pengadilan dan
badan-badan lainnya yang ada hubungan dengan kehakiman berada di bawah Diwan
Qadhi Al-Qadhah.
b. Qudhah
Al-Aqaali (hakim provinsi yang mengetuai pengadilan tinggi)
c. Qudhah
Al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai pengadilan negeri; Al-Qadhau atau Al
Hisbah)
d. Al-Sulthah
Al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibu kota Negara dipimpin oleh
Al-Mudda’il Ummy (jaksa agung) dan tiap-tiap kotaoleh Naib Ummy (jaksa)
Adapun sumber
hukum dan independensi hakim yang dipakai lebih berfariasi. Disamping al-Qur’an
dan Hadist, sumber hukum yang banyak digunakan oleh hakim kala itu adalah
yurisprudensi atau preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum
mereka. maka tidak dipungkiri lagi bahwa pada zaman Dinasti Muawiyah telaah
memutus berbagai persoalan baik yang ada dalam ketentuannya dalam nash maupun
yang belum. Dan keputusan-keputusan tersebut adalah bentuk warisan yang kaya
dan bisa dijadikan sebagai rujukan bagi hakim-hakim masa dinasti abbasiyah.
Disamping itu berkembangnya pemikiran hukum yang digagas oleh para imam mazhab,
semangkin memperkara rujukan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara
sidang-sidang pengadilan. Perlu digaris bawahi bahwa hakim kala itu disamping
memiliki keahlian dalam memeriksa dan memutuskan perkara, mereka juga Fuqaha
yang ahli dalam epistimologi hukum islam maupun ilmu-ilmu lainnya.
Maka pada masa
ini telah ada ketua mahkamah dan pembagian wilayah peradilan tertentu yang mengatur
dan menertibkan urusan mereka. Tetapi setelah beberapa daerah memisahkan dari
kekuasaan di baghda yaitu Abbasyiyah, maka masing-masing daerah memiliki qadhi
qudhat (hakim Agung) sendiri, yang di Andalusia (Spanyol) disebut sebagai Adli
Jama’ah. Di Andalusia, pengawasan terhadap tindakan kriminal serta hukum-hukum
yang ditetapkan oleh syariat agama juga diserahkan kepada polisi. Lapangannya
sedikit lebih luas dibandingkan dengan lapangan jabatan hakim.
Pada masa ini
juga telah didirikan gedung-gedung untuk meraka para qadhi, pakaian khusus
(toga), memiliki pengawal khusus untuk usrusan mereka. Pada masa ini juga telah
diadakan pembukuan putusan secara sempurna, pencatatan wasia-wasiat dan
hutang-hutang. Dan kekuasaan peradilan semakin meluas , sehingga dimasukkan
pula dalamnya keuasaan kepolisian, Wilayatul Madhalim, pengawasan mata uang dan
baitul mal dan Wilayatul Hisbah. Dalam Lembaga Hisbah, pejabat yang memegang
lembaga ini disebut Muhtasib, bukan merupakan lembaga atau badan peradilan
dalam pengertian rinci seperti halnya badan peradilan biasa atau nazar
al-mazalim. Tetapi lembaga ini merupakan lembaga keagamaan murni yang
didasarkan pada seruan untuk melaksanakan kebajikan dan meninggalkan perbuatan
yang munkar. Oleh lembaga hisbah diterjemhakan menjadi “kewajiban-kewajiban
praktis yang sesuai dengan kepentingan umum kaum muslimin.”
Selain itu wilayah al-hisbah
(kewenangan) dan wilayah al-mazalim (penyelewengan dan penganiayaan) yang
dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk
penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang
masuk perkara al-mazalim waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika
dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah.
Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadi al-Mazalim atau
Sahib al-Mazalim. Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim,
memang hakim lebih didahulukan karena pemahamannya terhadap masalah-masalah
yang berkaitan dengan hukum. Namun khalifah seringkali menunjuk pejabat lain
yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap
masyarakat sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu
pejabat lembaga ini kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain itu,
tugas Nazar al-Mazalim adalah,
a. mengawasi
penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara,
pegawai perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan
wewenangnya.
b. mengawasi
terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan,
keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.
c. membantu
qadhi melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.
d. mengawasi
atau menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan
barang hasil curian pada orang yang berhak.
D. Hancurnya
Tatanan Peradilan Pada Masa Abbasiyah
Kemerosotan
nilai peradilan dan kekuasaan hakim merupakan pemicu hancurnya tatanan
peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah yang telah tertata dalam waktu yang tidak
singkat seirirng dengan keadaan pemerintahan sudah sangat rusak. Kerusakan
telah merata dan urusan peradilan pun tidak luput dari kerusakan. Orang-orang
yang diangkat menjadi hakim, diharuskan membayar sejumlah uang kepada
pemerintah pada tiap-tiap tahun.
Dengan lemahnya
pemerintahan, maka lemah pula kekuasaan hakim dan berangsur-angsur surut daerah
hukum yang menjadi wewenang hakim. Terus-menerus keadaan ini berangsur-angsur
surut, hingga merosot sampai pada hanya menyelesaikan soal-soal sengketa dan
soal-soal ahwal al-shahshiyah (hukum keluarga) saja.